Tuesday, April 29, 2008

Ni hao ma?

Ni hao ma?

Wo hen hao, ni na?

Saya gregeten betul melihat ada bahasa se’aneh’ bahasa Tionghoa. Kok ada bahasa yang serumit itu? Budaya dan benak macam apa yang begitu kompleksnya sampai melahirkan bahasa yang ciri nadanya sangat distinctive, membawa arti, belum lagi karakter tulisnya yang njlimet. Memang bagus. Unik. Kayak nggambar. Tapi kita yang mau belajar ini, alamak, harus benar-benar memakai jurus strategi selengkap mungkin. Ya afektif, kognitif, metakognitif.

Saya memutuskan untuk mempelajari bahasa Tionghoa ini semata-mata karena ingin melatih kecekatan otak saja. Dengan mempelajari pola nadanya, mendengar pengucapannya, berlatih bicara walaupun berbisik-bisik takut kedengaran rekan sekantor, saya pikir saya akan bisa mempertahankan ketajaman benak saya dalam menyerap, memproses informasi, dan mengingat kembali. Saya sama sekali tidak punya niat untuk berdagang, ngomong sama orang-orang dari etnis Tionghoa, atau apa lah, pokoknya sama sekali bukan tujuan-tujuan komunikatif seperti itu.

Lalu saya sadari betapa janggalnya pemikiran saya itu. Belajar bahasa hanya untuk melatih ingatan, tanpa ada niatan sama sekali untuk memakainya sebagai sarana komunikasi, atau setidaknya mengenal lebih jauh budayanya.

Tidak mungkin. Dan sebenarnya, mengapa tidak? Sejak kecil nampaknya saya (ditakdirkan) untuk hidup dan tumbuh di lingkungan berbudaya etnis Tionghoa. Saya sekolah di SD, SMP, dan SMA Katolik yang mayoritas siswanya dari etnis Tionghoa. Saya berpacaran dan akhirnya menikahi seorang wanita keturunan Tionghoa. Saya mengajar di PTS yang mayoritas mahasiswanya juga dari etnis Tionghoa, saya bekerja di kantor dan semua staf saya juga dari etnis Tionghoa, setelah pindah dari kantor itu, saya sekarang malah berkarya di Universitas Ma Chung; saya juga pernah . . . ya, nggak usah diteruskan lah kalau yang terakhir ini.

Tapi begitulah. Saya belajar bahwa strategi afektif berperan besar dalam upaya saya belajar bahasa Mandarin ini. Malah harus ada in the first place, menjadi pijakan bagi strategi jenis kognitif dan metakognitif.

Jadi, sukailah dulu suatu budaya, bekerja sama lah dengan penutur-penutur aslinya, jatuh cintalah pada mereka, nikahilah mereka (satu saja!) dan Anda akan makin merasakan dorongan alami untuk mempelajari bahasanya.

Wo xian zai xue Zhong wen. Xian zai wo de Zhong wen hai bu tai hao.

Zai jian!

1 comment:

Anonymous said...

Aku baca blog bapak yang ini ya pengen ketawa.

La gimana ga ketawa aneh2 juga belajar koq sambil bisik2.

Bahasa Mandarin emang termasuk yang paling njelimet dari beberapa segi tapi dengan menguasainya, kita juga sudah menguasai 70% bahasa Jepang juga (katanya lo ya). Aku dulu sempet belajar tapi bentar banyak2 ngertinya ya malah dari nonton vcd dan dvd.

Cuman ada hal yang perlu dicermati juga, biarpun liat dvd, tapi kalo bahasa daerahnya lain ya lain. Mo pak logat kanton, ama lainnya ya lain lagi. Ini yang bikin pusing. Tapi kalo karakternya aku suka yang Taiwan atau Beijing. Yang Taiwan nih model tulisan lama sementara yang Beijing, beberapa dah lebih sederhana tapi tetep aja karakternta ada 6000an. Kadang kepikiran juga, koq mereka ya bisa hafal gt. Tp ya udah biasa kali.

Yah dimana-mana sebenernya tidak ada yang bisa melarikan diri dari segerombolan etnis Tionghoa. Kan banyak sekali komunitasnya makanya banyak China Town dimana-mana, tersebar.

Buat bapak yang lagi getol2nya belajar, ya ga usah sembunyi2 gt. Biasa2 aja. Sapa tau ntar malah banyak yang langsung turun tangan membantu kan lebih menyenangkan. Buktinya tulisannku bisa bapak tulis ulang di fs :)

Ni jun ta hen jung ming te ren, man man, ni yi ting huei.

Cheers